Senin, 05 Januari 2009

Dengan TI Membangun Bisnis “Low-cost, high value”

Dalam waktu setahun, Virgin America membangun sebuah ekosistem TI dari nol untuk mendukung operasi perusahaan penerbangan yang efisien namun bernilai tinggi. Apa saja yang dilakukannya?

Dulu, naik pesawat terbang bagi sebagian besar orang hanyalah sekedar impian. Naik pesawat terbang identik dengan harga tiket mahal, dan eksklusif bagi kalangan mampu.

Tapi, belakangan kondisi itu berubah. Selama lebih dari satu dekade terakhir, dunia penerbangan komersial global semakin marak, diwarnai dengan hadirnya berbagai low-cost airlines atau no-frills airlines.

Sesuai namanya, low-cost airlines menawarkan harga tiket jauh lebih murah ketimbang airline tradisional. Namun, hal itu harus ditebus dengan “sedikit” mengorbankan kenyamanan penumpang. Full services seperti yang diberikan airline tradisional dipangkas. Layanan-layanan seperti minuman gratis misalnya, ditiadakan.


Namun, pelan-pelan citra low cost airline yang mengesampingkan kenyamanan bagi penumpang agaknya akan segera berubah. Sejumlah low-cost airline, baik yang sudah eksis maupun yang akan segera beroperasi mengambil ancang-ancang melakukan terobosan untuk meningkatkan customer experience-nya.

Hal itu yang menjadi salah satu tujuan low-cost airline Virgin America. Sebagai maskapai penerbangan debutan, yang baru akan melakukan penerbangan perdananya tahun ini, Virgin America bercita-cita membangun citra baru di dunia low-cost airline.

Harga tiketnya setara dengan harga tiket terendah untuk penerbangan cross-country pulang pergi seharga dibawah 300 dolar, seperti yang ditawarkan maskapai penerbangan JetBlue. Tapi, lebih dari itu, perusahaan ini ingin memberikan customer experience layaknya maskapai penerbangan kelas dunia seperti Singapore Airlines.

Diferensiasi apa yang akan ditawarkan Virgin America memang belum sepenuhnya diungkap para petinggi perusahaan itu sebelum mereka benar-benar beroperasi tahun ini.

Setidaknya publik baru mengetahui rute perdana maskapai ini adalah San Fransisco ke New York, memiliki armada terdiri dari 34 unit pesawat gres Airbus A320 serta penawaran fasilitas in-flight yang nyaman untuk penumpang, misalnya penggunaan kursi penumpang buatan Recaro dengan sandaran tipis sehingga memberikan ruang kaki lebih lega bagi penumpang di belakangnya. Selain itu, calon penumpang pun akan lebih mudah mendapatkan tiket karena 70 persen tiket akan mereka bisa peroleh melalui Web.

Pada intinya, seperti yang diungkapkan Todd Pawlowski, vice president guest service and airports, Virgin America, pihaknya ingin memberikan kastamer lebih dari apa yang mereka bayar dan meningkatkan kualitas guest experience-nya.

“Akan ada lebih banyak full service. Tapi kami tidak akan membuat kastamer harus membayar lebih untuk menikmatinya,” tegasnya.

Nah, yang tak kalah menarik adalah bagaimana Virgin America bisa mewujudkan segala fasilitas layaknya airline tradisional itu. Perusahaan ini membangun visi yang jarang dilakukan maskapai penerbangan debutan lainnya: menjadikan TI sebagai kunci dengan membangun strategi TI yang ramping, murah dan efektif.
Low cost, high value

Virgin America sejak awal sadar bahwa kemampuannya untuk menawarkan diferensiasi layanan kepada kastamer yang peka terhadap harga akan sangat bergantung pada bagaimana menjaga biaya TI tetap rendah.

Layaknya perusahaan startup, Virgin America harus melakukan banyak hal dengan dana terbatas, meski termasuk yang terbesar untuk ukuran low-cost airline. Modal awal perusahaan tidak lebih dari 177,3 juta dolar AS, sebagian untuk membeli lisensi penggunaan nama Virgin yang dibeli dari Virgin Management milik entrepreneur terkemuka asal Inggris, Sir Richard Branson.

Upaya untuk membangun TI yang kuat namun efisien pun tercermin dari keputusan perusahaan itu untuk merekrut Bill Maguire sebagai chief information officer (CIO) Virgin America.

Membaca rilis pers terkait dengan penunjukkan Maguire terlihat jelas bahwa Virgin America terkesan akan gaya kepemimpinan pria 53 tahun ini yang cenderung cost oriented.

Prestasinya menekan cost TI sebesar 4 juta dolar per tahun ketika menjabat sebagai CIO Aspect Communications, serta menghemat biaya sebesar 3 juta dolar dengan melakukan pembenahan infrastruktur TI ketika ia menjabat juga sebagai CIO di Legato Systems adalah nilai plus yang membuat Virgin America meminangnya.

"Bill adalah seorang technology leader yang inovatif dan fokus pada biaya,” puji Fred Reid, CEO Virgin America. “Ia dapat membuktikan bahwa ia dapat memanfaatkan teknologi untuk secara efektif menyeimbangkan cost control di dalam sebuah perusahaan jasa high-profile yang penuh dengan berbagai macam tuntutan.”

Maguire pun sadar bahwa sebagai perusahaan start-up, Virgin America memiliki sumberdaya yang relatif terbatas. Sedapat mungkin setiap dolar yang dihemat dari sebuah sistem TI, katakanlah memangkas sistem back-end TI yang tidak memberikan value bagi kastamer, bisa dialihkan ke hal-hal yang memberikan dampak lebih besar bagi kastamer. Misalnya, pembangunan kios-kios layanan di setiap terminal bandara.

Oleh karena itu, begitu ia menduduki kursi CIO Virgin Airlines, ia pun merencanakan untuk menggelar sebuah paduan sistem yang berbiaya rendah (bahkan dalam beberapa kasus tidak memerlukan biaya), efisien serta agile untuk membangun basis bisnis Virgin America yang bergaya “low-cost, high-value”.

“Kami hadir pada saat teknologi sudah berkembang jauh lebih ringkas, cepat dan fleksibel,” ujarnya. ”Jadi kami tidak perlu menggelar mainframe untuk menjalankan sistem-sistem kompleks yang dimiliki airline besar seperti United dan American.”
Berorientasi cost

Gaya Maguire yang cost-oriented sangat kentara ketika ia menentukan peranti-peranti lunak yang akan digelar Virgin America. Ia pun memanfaatkan berbagai jurus untuk memangkas biaya peranti lunak, mulai dari negosiasi licensing secara kreatif sampai memanfaatkan peranti-peranti open source secara maksimal.

Ia pun berupaya menerapkan pola lisensi yang menggunakan concurrent user ketimbang named user, sebuah pola yang lebih disukai kebanyakan vendor peranti lunak. Dalam hal server, ia pun lebih menyukai lisensi sesuai ukuran atau CPU power-nya.

”Saya memahami bagaimana menentukan ukuran sebuah sistem TI dan mengonfigurasi utilisasinya sehingga kami tidak usah membayar lebih dari yang kami perlukan,” ujarnya.

Selain itu, Maguire pun lebih banyak mengeksplorasi teknologi-teknologi berbiaya rendah dan seberapa banyak fitur-fitur yang ditawarkan sebuah peranti lunak bisa bermanfaat bagi perusahaan, dan bagaimana sebuah aplikasi dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Ia memberikan contoh solusi-solusi buatan vendor peranti lunak besar seperti Microsoft atau Oracle. Menurut dia, vendor-vendor itu menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan peranti lunak sementara hanya 10 persen dari fitur-fitur yang ditawarkan peranti lunak benar-benar digunakan pengguna.

”Contohnya (Microsoft) Word. Saya hanya menggunakan beberapa fitur saja. Bagi saya, terpenting adalah bagaimana membuat sebuah server maupun aplikasi melakukan kerja lebih banyak,” ujarnya.

Saat ini, sebagian aplikasi TI dibuat sendiri oleh Virgin America, antara lain spam filter, load-balancing serta change management. Semuanya berbasis kode open-source.

Penggunaan open source ini memberikan penghematan cukup signifikan bagi Virgin America. Maguire mengestimasi jika menggunakan peranti lunak load-balancing versi tradisional pihaknya harus mengeluarkan sekurangnya 80.000 dolar AS, sementara dengan menggunakan peranti lunak open source praktis pihaknya tidak mengeluarkan biaya apa-apa.

Untuk aplikasi keuangan, Maguire pun memilih aplikasi yang lebih ekonomis, yakni Microsoft Dynamic GP (dulu bernama Great Plains. Biaya implementasinya sekitar 500.000 dolar AS. Sementara jika ia memilih Oracle, ia memperkirakan harus menyiapkan dana 2 sampai 3 juta dolar. Pemilihan ini tidak semata mempertimbangkan faktor biaya saja, tetapi juga timing dan kematangan peranti lunak itu sendiri.

”Beberapa tahun lalu, Great Plains belum cukup handal untuk bisa mendukung operasi seperti perusahaan kami. Namun sekarang sudah memadai,” kilah Maguire.

Virgin America pun membangun sendiri booking-engine berbasis Web. Maguire sendiri terjun langsung mengawasi pembuatan front end situs Web-nya yang eksekusinya diserahkan ke perusahaan desain Web Anomaly, sementara coding untuk back end-nya diserahkan ke perusahaan peranti lunak India, NIIT.
Hosted solution dan alihdaya

Sistem customer relationship management (CRM) pun tak luput dari perhatian Virgin America. Tidak seperti maskapai penerbangan lainnya, Virgin America memiliki keuntungan bisa membangun sebuah sistem dari nol, tidak terbebani masalah dengan integrasi data dan sebagainya.

Uniknya, sistem CRM yang dibangun merupakan paduan antara hosted solution dengan sistem yang dibangun sendiri. Sistem customer feedbacknya menggunakan solusi hosted dari RightNow. Sementara data yang diperoleh akan diproses oleh sebuah sistem yang dibangun Virgin America sendiri.

Perusahaan ini memiliki sasaran cukup ambisius dari sistem CRM yang dibangunnya. Seperti dipaparkan Pawlowski, sistem ini bukan untuk mencatat preferensi serta buying habit kastamer seperti minuman apa yang dipesannya pada penerbangan terakhir, tetapi lebih kepada insiden-insiden yang memiliki dampak besar. Contohnya kejadian-kejadian yang membuat kecewa kastamer, misalnya kehilangan bagasi.

”Nantinya flight attendant kami akan mengetahui informasi ini, dan memberi pesan kepada kastamer bahwa kami memperhatikan masalahnya dan berupaya melakukan sesuatu untuk meningkatkan layanan,” papar Pawlowski.

Masih dalam konteks pelayanan kastamer, Virgin America juga membangun call center. Alih-alih membangun sendiri fasilitas khusus call center, atau mengelola sendiri tim home-agent seperti yang dilakukan JetBlue, Virgin mengalihdayakan call centernya ke tangan WillowCSN, sebuah provider solusi call center virtual bagi perusahaan-perusahaan Fortune 500.

Para home-based CyberAgent CSR yang disediakan WillowCSN ini akan menangani seluruh pertanyaan mengenai reservasi dan informasi penerbangan yang masuk ke nomor toll-free customer service Virgin America.

Pada tahap awal, Virgin America akan mengambil 200 CyberAgent WillowCSN untuk dilatih mengenai sistem reservasi penerbangan dan budaya perusahaan.
Terobosan berani

Dari seluruh sistem TI yang dibangun Virgin dari nol, terobosan yang terbilang paling berani adalah sistem reservasinya. Sistem reservasi boleh dibilang menjadi inti dari sistem TI maskapai penerbangan manapun.

Apapun nama sistem itu, sistem reservasi tak cuma menangani reservasi saja, tetapi juga inventory control, tarif dan ticketing, jadwal, bagasi dan interface dengan fungsi-fungsi kendali departure. Selain itu, sistem ini juga terintegrasi dengan sistem-sistem lain yang dijalankan sebuah maskapai penerbangan, mulai dari sistem flight operations sampai sistem booking berbasis-Web.

Maskapai-maskapai penerbangan yang sudah mapan kebanyakan mengoperasikan sistem legacy yang sudah teruji, seperti Sabre atau Shares. Tapi, sayangnya, sistem-sistem yang kaya fitur seperti ini berjalan di atas mainframe, pemeliharaannya mahal dan sulit untuk di-customize.

Sementara itu, sejumlah low-cost airline seperti Airtran dan JetBlue memilih sistem Open Skies dari Navitaire yang lebih murah dan memiliki sistem reservasi berbasis Web yang lebih sederhana.

Meski beda kelas, kedua peranti lunak di atas sama-sama sudah cukup lama beredar. Perusahaan yang menerapkannya pun mulai menghadapi tantangan untuk meng-upgrade-nya, atau beralih ke sistem baru.

Di sisi lain, sistem reservasi baru yang lebih efisien namun powerful mulai berkembang. Nah, sebagai maskapai penerbangan baru yang memiliki kesempatan untuk membangun sistem TI-nya dari nol, Virgin memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk memilih sistem reservasi yang lebih baru.

Pilihan pun jatuh kepada aiRES, sebuah sistem reservasi penerbangan gres yang dirilis pertama kali pada September 2005. Fleksibilitas dan desainnya yang customer-centric membuat Virgin memilih solusi yang pembangunannya didanai Cendant serta dikembangkan pengembang peranti lunak India, IBS.

Selain Virgin America, baru dua maskapai penerbangan yang telah meneken kontrak untuk menggunakan aiRES, yakni Virgin Blue dari Australia dan WestJet dari Kanada. Keduanya juga low cost airline. WestJet tercatat sebagai launch customer aiRES.

Sistem ini dibangun di atas standar open architecture dengan sebuah layer database, sebuah layer aplikasi dan sebuah layer Web services. Arsitektur yang bersifat open ini memungkinkan digelarnya sejumlah layanan-layanan yang memanjakan kastamer, misalnya proses booking tiga langkah, dan proses check-in tujuh detik di airport serta berbagai bentuk efisiensi lainnya yang bisa meningkatkan customer service.

“Solusi ini cepat, fleksibel dan sangat mudah pengonfigurasiannya,” puji Maguire. ”Kami bisa menjalankan bisnis sesuai keinginan kami, tidak perlu didikte seperti kalau menggunakan sistem Sabre atau Navitaire.”

Selain itu, aiRES juga memungkinkan sebuah maskapai penerbangan memperluas layanan kastamernya dengan mengintegrasikan distribution channel-nya dengan layanan travel lainnya.

Sebagai contoh, Virgin bisa mengintegrasikan layanannya dengan pengelola hotel atau rental mobil. Seorang pelanggan bisa melakukan check-in ketika check-out dari hotel, atau menerima boarding pass ketika mengembalikan mobil ke counter rental mobil di airport. Bahkan, notifikasi ke calon penumpang mengenai penundaan atau perubahan jadwal penerbangan kini bisa dilakukan langsung secara real time.

“Dari sudut pandang bisnis, sistem baru ini terbilang luar biasa karena memberikan fleksibilitas lebih tinggi ketimbang sistem generasi lama. Perusahaan kami bisa tumbuh tanpa ada batasan,” ujar Brian Clark, vice president planning and sales, Virgin America, eksekutif yang berperan besar dalam pemilihan aiRES.
Menunggu take off

Sejauh ini, hampir seluruh pembangunan infrastruktur TI di Virgin America telah rampung. Maguire dan timnya telah menjalankan sebagian besar jaringan, serta sudah mengoperasikan datacenter dan peranti monitoringnya. Aplikasi human resource, keuangan dan flight operations pun sudah berjalan.

“Yang tersisa adalah sistem reservasi dan production website-nya,” ujar Maguire, sambil menambahkan bahwa keduanya diharapkan sudah berjalan baik sejak awal tahun ini.

Tahun 2007 ini boleh dibilang merupakan tahun yang kritikal bagi Virgin. Penundaan operasi penerbangan bisa berujung lonceng kematian bagi maskapai penerbangan manapun.

Pasalnya, sampai saat ini Virgin masih menunggu persetujuan final dari DoT (Department of Transportation) AS. Upaya maskapai-maskapai penerbangan besar seperti Continental, Delta, United dan American yang mengajukan keberatan kepada DoT atas permohonan ijin operasi Virgin dengan alasan komposisi kepemilikan saham setidaknya juga menghambat langkah Virgin untuk bisa segera tinggal landas.

Seperti diketahui, regulasi setempat melarang investor asing memiliki lebih dari 50 persen saham kepemilikan atau lebih dari 25 persen suara di dalam sebuah maskapai penerbangan.

Belum lagi melihat antisipasi-antisipasi apa yang dilakukan low cost airlines lainnya. JetBlue, yang disebut-sebut bakal sebagai kompetitor utama Virgin America misalnya juga telah mengambil ancang-ancang untuk meningkatkan customer experience-nya. Belum lama ini, perusahaan itu memenangkan lelang dari Federal Communications Commission (FCC) satu kavling frekuensi gelombang radio untuk komunikasi dari udara ke darat. Jika mendapatkan persetujuan dari FAA, tentu membuka peluang besar bagi JetBlue untuk menyediakan layanan Wi-Fi in the sky.

Namun, meski setiap penundaan sama saja dengan hilangnya peluang mendapatkan uang, Virgin masih berkesempatan untuk menarik keuntungan dari kondisi itu, setidaknya bagi divisi TI-nya.

Selama penantian itu, low cost airline lainnya yang menggunakan aiRES, yakni WestJet yang bermarkas di Calgary, Kanada tak lama lagi akan go-live. Dari sini, Virgin dapat memetik pelajaran sesungguhnya dalam penggunaan aplikasi aiRES, dan mengambil langkah-langkah antisipasi yang dibutuhkan ketika giliran mereka tiba.

Untuk sementara waktu, Virgin America memang harus bersabar sebelum bisa mewujudkan janji-janjinya. Agaknya, mereka harus mengusung tag line perusahaannya: an airline we hope you’ll love lebih lama lagi sebelum bisa mengubahnya menjadi an airline you’ll love. /aa


SIDE BAR
Risiko

Sejumlah langkah yang diambil Bill Maguire ketika membangun sistem TI Virgin America, meski dipandang sebagai terobosan, tetapi juga dianggap mengundang risiko. Salah satunya adalah keberanian menggunakan peranti open-source, suatu hal yang jarang dilakukan maskapai-maskapai penerbangan di sana. Salah satu kekhawatirannya adalah masalah support ketika terjadi permasalahan dengan peranti lunaknya.

Tapi, Maguire menepis kekhawatiran itu karena saat ini dukungan dari komunitas open source menurutnya sudah cukup memadai bahkan terbilang luar biasa. “Kami mendapatkan update setiap malam dari komunitas ini untuk spam filter yang kami gunakan,” klaimnya.

Selain itu, keputusan Virgin untuk menggunakan sistem reservasi aiRES yang belum teruji juga dipandang bakal menimbulkan permasalahan. Maguire sudah menyadari hal ini jauh sebelumnya. Bahkan ia tak menampik kemungkinan kalau implementasi aiRES ini bisa berjalan kurang mulus. ”Sistem reservasi memang memberikan risiko paling tinggi bagi bisnis ini,” aku Maguire.

Tapi, menurut Maguire, sistem infrastruktur aiRES memiliki tingkat redundancy untuk meminimalkan dampak ketika secara tak terduga mengalami down. Untuk meminimalkan risiko secara keseluruhan, Maguire dan timnya menjalin kerjasama erat dengan Cendant untuk memastikan kinerja, stabilitas dan skalabilitas sistem ini sanggup memenuhi kebutuhan beban kerja Virgin America.

Selain itu, ketika pembangunan sistem ini masih berjalan, Maguire melakukan perjalanan rutin ke markas IBS di Delhi, India untuk memeriksa kesiapan aiRES. Ia pun membangun relasi erat dengan para software developer agar mereka mengetahui jalan pikiran dan ekspektasi Virgin America. Kesiapan dukungan 24/7 pun ketika sistem mulai berproduksi pun tak luput dari perhatian Maguire.

”Intinya kami langsung bertatap muka dengan mereka untuk menegaskan betapa pentingnya sistem ini bagi kami,” ujar Maguire. /cio/aa


SIDE BAR
Di balik sistem TI Virgin America

Teknologi apa saja yang ada di balik infrastruktur TI yang dibangun Virgin America? Anda bakal menjumpai sistem gado-gado yang mengombinasikan teknologi proprietary dengan open-source.

Untuk teknologi database-nya, Virgin menggunakan MySQL dan Oracle. Sementara untuk development tools, perusahaan ini bertumpu pada Apache Struts, J2EE, Perl, Self Scripts dan SQL Development.

Sebagai teknologi deployment, Apache digunakan untuk web servernya, sementara server aplikasi menggunakan teknologi Jboss dan Tomcat. Untuk sistem operasi, selain Linux, Virgin juga mengandalkan MS Server 2005.

Dari sisi perangkat keras, Virgin mempercayakan server-servernya pada Hewlett-Packard, sementara infrastruktur jaringannya berintikan solusi-solusi buatan Cisco, dan firewallnya kepada Sonic. /cio/aa

Sumber : Majalah Ebizz Asia Tuesday, 23 October 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar