Senin, 05 Oktober 2009

Cara Promosi Blog

Seperti juga dalam pergaulan di dunia nyata, blog di dunia maya pun juga memerlukan promosi agar dapat dikenal lebih luas lagi oleh blogger lain.

Salah satu bentuk promosi blog yang paling tua adalah dengan cara blogwalking. Ada cara lain yaitu dengan memasang iklan [bisa iklan baris atau iklan banner], membagikan sarana promosi blog seperti stiker atau merchandise lainnya, dan membuat Guest Post.

1. Blogwalking. 

Blogwalking adalah mengenalkan blog kita dengan cara mengunjungi blog lain satu per satu. Blogwalking bisa dimulai dengan cara mengklik link yang ada dalam komentar, atau dari shoutbox, atau blogroll di side bar blog kita.

Setelah berada di blog orang lain, silahkan ‘meninggalkan jejak’ dengan mengisi kolom shoutbox yang ada. Bisa juga dengan memberikan komentar pada postingan.

Blog yang menjadi ‘target’ selanjutnya bisa kita dapat dari link-link yang ada di shoutbox blog lain. Hal itu akan mengantarkan kita kepada blog-blog baru yang belum pernah kita temui.

2. Memasang Iklan. 

Anda bisa mempromosikan blog Anda melalui iklan, baik iklan baris maupun iklan banner. Banyak blog yang menyediakan spot banner untuk Anda beriklan.

3. Dapatkan Link. 

Anda juga bisa mempromosikan blog Anda melalui link. Caranya bisa dengan bertukar blogroll, membeli link blogroll, membeli review di blog lain dan memdapatkan link cuma-cuma dari blogger lain jika blog Anda cukup baik di mata mereka. Buatlah tulisan yang berguna dan informatif, maka blogger lain akan melink menuju blog Anda.

Ngomong-ngomong soal dapatkan link, saya ingin sekali mendapatkan link dukungan kontes SEO Objek Wisata di Pandeglang. Setidaknya salah satu usaha saya ya seperti ini, memberikan inbound link dari blog sendiri. Syukur-syukur ada blogger lain yang memberi link juga…  

4. Promosi Ofline. 

Buatlah kartu nama yang memuat informasi blog Anda. Tempelkan stiker tentang blog Anda di mana-mana. Bagikan kaos dengan desain nama blog Anda. Buatlah mug bergambar lambang blog Anda. Dan lain sebagainya.

5. Menjadi Guest Blogger. 

Mengapa menjadi guest blogger bisa menjadi sarana berpromosi yang baik? Anda bisa memanfaatkan blog-blog yang menawarkan guest posting karena tulisan Anda mewakili citra positif Anda. Pembaca setia host blog memiliki kemungkinan yang besar untuk mengunjungi blog Anda juga.

Bagaimana cara Anda mempromosikan blog Anda?
Baca selengkapnya ..

Kamis, 02 Juli 2009

Buku Seri Kumon

Pada suatu hari saya menemukan halaman web menawarkan buku gratis ..
Tidak seperti banyak situs yang ada saat ini yang menawarkan e-book berbayar, tapi kali ini saya sedang berbaik hati untuk berbagi. Buku elektronik (e-bbok)ini berupa buku seri pelatihan kecerdasan anak dengan menggunakan metode KUMON. Buku ini terdiri dari 3 bentuk pelatihan, yaitu buku berhitung untuk anak umur 5 s/d 7 tahnu, Buku membuat kerajinan tangan dan Buku Seri Menggunting.

Selamat men-dowload yach...

1. Buku Berhitung
2. Buku Prakarya 1
3. Buku Prakarya 2
Baca selengkapnya ..

Kamis, 23 April 2009

Selasa, 07 April 2009

Virtualisasi : Memaksimalkan Infrastruktur TI

Virtualisasi: Maksimalkan Aset TI
Monday, 02 October 2006

Virtualisasi infrastruktur TI tak hanya menghemat pembelian perangkat keras tapi juga meningkatkan utilisasinya. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengelola berbagai aset virtual itu ke dalam satu console, dan mekanisme chargeback bagi para pengguna aset virtual tersebut.


Teknologi informasi dewasa ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam operasi sehari-sehari berbagai perusahaan di dunia. Selama hampir dua dekade, dengan mengatasnamakan efisiensi kerja dan proses bisnis yang lebih cepat, hampir sebagian besar perusahaan menumpuk dan menjejalkan berbagai jenis infrastruktur TI untuk menunjang kebutuhan perusahaannya. Penggelaran TI yang dilakukan selama bertahun-tahun itu akhirnya kini justru berujung pada inefisiensi infrastruktur TI. Sebuah inefisiensi yang mungkin tidak pernah terbayangkan ketika sebuah perusahaan pertama kali menggelar TI di masa lampau.

Alhasil, kalau kita menyoroti berbagai kondisi infrastruktur TI yang ada di sebagian besar perusahaan di dunia, kondisi inefisiensi ini dengan mudah kita jumpai. Ambil contoh kasus penggelaran server misalnya. Seperti pernah diungkapkan Tony Parkinson, Industrial Standard Server Hewlett-Packard Asia Pacific, utilisasi server di rata-rata perusahaan umumnya terbilang sangat rendah, hanya sekitar 15 sampai 20 persen.

Angka ini termasuk konservatif. Pasalnya, perusahaan riset seperti Gartner saja memperkirakan tingkat utilisasi server, khususnya server-server berbasis Intel tidak lebih dari 5 sampai 10 persen saja. Dengan tingkat utilisasi serendah ini, boleh dikatakan hampir sebagian besar departemen TI perusahaan membeli server baru setiap kali mereka menggelar aplikasi baru.

Inefisiensi seperti ini bukannya tanpa sebab. Menurut Gartner, rata-rata CIO menolerir kondisi ini dengan harapan mereka bisa memenuhi kebutuhan akan sumber daya (resource) TI untuk para business users ketika mereka membutuhkannya. Di sisi lain, kebanyakan pengelola TI masih enggan mencampurkan dan menyandingkan berbagai jenis aplikasi ke dalam sebuah platform tunggal. Pasalnya, mereka khawatir langkah ini akan menimbulkan risiko pada satu atau seluruh aplikasi itu manakala terjadi kegagalan pada tingkat sistem atau system-level failure. Misalnya ketika melakukan upgrade sistem operasi untuk sebuah aplikasi akunting akan membuat aplikasi payroll yang berjalan di atas server yang sama menjadi down.

Di sisi lain, harga perangkat keras yang cenderung makin murah juga menjadi biang keladi. Prosesor, memori dan storage semakin murah. Price per performance atau price per capacity makin murah. Selama satu dekade terakhir, harga server mungkin turun 80 persen, sehingga bagi pengelola TI akan lebih mudah untuk membeli perangkat server atau storage ketimbang melakukan rasionalisasi setup sistem yang sudah ada.

Makanya tidak heran jika sering dijumpai sebuah perusahaan yang menggelar puluhan server hanya untuk menjalankan segelintir aplikasi. Seperti yang dijumpai pada perusahaan ritel bahan makanan di AS, Hannaford Brothers Co yang menggelar 33 server berbasis Windows NT hanya untuk menjalan sistem labor-schedulingnya.

Gelaran infrastruktur yang berlebihan seperti ini bukannya tanpa konsekuensi, dan jelas tidak murah. Dalam sebuah laporan IDC, biaya tenaga kerja untuk memelihara sebuah server aplikasi yang digunakan untuk produksi (bukan untuk develop atau tes aplikasi) berkisar antara 500 sampai 3.000 dolar AS per bulan. Biaya itu belum termasuk biaya-biaya lain yang terkait, misalnya untuk backup dan recovery, konektifitas jaringan, daya listrik dan pendingin ruangan. Mengalikan biaya-biaya itu dengan ratusan atau bahkan ribuan server yang biasa umumnya terdapat pada perusahaan-perusahaan besar, terbayang betapa besar biaya yang harus keluar.

Namun, hal ini tidak hanya berlaku pada server saja. Sistem storage, jaringan, PC dan bahkan aplikasi sekalipun tak luput dari penyakit inefisiensi ini. Gartner melaporkan bahwa secara keseluruhan, perusahaan harus rutin mengalokasikan 70 sampai 80 persen anggaran TI-nya untuk mendukung aplikasi dan infrastruktur TI yang sudah ada.

Kondisi ini sebenarnya masih bisa diatasi. Dewasa ini, makin banyak perusahaan yang melirik virtualisasi sebagai jalan keluar dari kemelut ini. Virtualisasi sendiri sebenarnya bukan hal baru. Konsepnya mirip dengan time-sharing pada mainframe, semacam proses partisi yang memungkinkan sumberdaya prosesor, memori dan storage dibagi-bagi sedemikian rupa sehingga masing-masing tampil layaknya komputer terpisah untuk setiap user.

Gartner sendiri mengartikan virtualisasi sebagai pooling sumberdaya TI seperti daya komputasi, memori dan kapasitas storage sedemikian rupa sehingga menghilangkan sifat-sifat dan batas-batas fisik sumberdaya tersebut dari para usernya.
Konsolidasi infrastruktur

Virtualisasi memungkinkan komputer-komputer tidak lagi harus dikhususkan untuk sebuah tugas tertentu. Aplikasi maupun user bisa berbagi sumberdaya komputasi, namun proses ini sama sekali tidak dirasakan atau diketahui user. Perusahaan pun dapat mengubah sumberdaya komputasi ini sesuai kebutuhan, dan infrastruktur yang dibutuhkan pun menjadi lebih ramping karena lebih terkonsolidasi.

Pengalaman seperti ini sudah banyak dirasakan perusahaan-perusahaan yang menerapkan virtualisasi pada infrastruktur TI-nya. Salah satunya adalah vendor perangkat telekomunikasi Qualcomm, yang dikenal dengan produk-produk CDMA-nya.

Menurut CIO-nya, Norm Fjeldheim, dulu, hampir seluruh aplikasi-aplikasi yang digelar Qualcomm harus berjalan di masing-masing server Windows yang dikonfigurasi secara khusus. Para pengguna di tim riset Qualcomm pun enggan berbagi server karena mereka khawatir hal itu akan berisiko menimbulkan ketidakstabilan pada aplikasinya. Akibatnya belanja server pun tinggi, dan membuat server-server itu beroperasi pun memakan waktu lama.

Untuk mengatasi ini, tahun 2003 Qualcomm melirik peranti lunak virtualisasi dari VMware Inc. Proses virtualisasi berbagai infrastruktur TI langsung dilakukan, dan Fjeldheim pun tidak perlu menunggu waktu terlalu lama untuk melihat hasilnya. Pihaknya kini hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk membangun sebuah virtual environment untuk aplikasi engineeringnya.

”Padahal dulu membutuhkan waktu enam minggu untuk menunggu dan menggelar server baru. Para insinyur di departemen riset pun tidak sadar bahwa kini mereka berbagi resource dengan departemen lain,” ungkap Fjeldheim.

Saat ini Qualcomm memvirtualkan separuh dari server-server berbasis Windows, dan seperempat dari server-server Linuxnya. Meski tidak seluruh servernya divirtualkan, perusahaan itu masih bisa menghemat biaya perangkat kerasnya sebesar 1,4 juta dolar sejak pertama kali menggunakan VMware, sekaligus menghemat ruang yang dibutuhkan untuk menggelar perangkat-perangkat keras.

Langkah ini otomatis juga membuat server-server Qualcomm menjadi lebih terkonsolidasi dan utilisasinya pun meningkat. Rasio konsolidasi servernya 30:1, sementara tingkat utilisasinya rata-rata 30 persen, dan mendekati 100 persen ketika saat-saat beban puncak.

Virtualisasi yang dilakukan Qualcomm tak hanya menyentuh server-servernya saja, tetapi juga sistem storagenya. Saat ini, menurut Fjeldheim, tingkat utilisasi sistem storage di Qualcomm meningkat dari 30 menjadi 65 persen.

Di sisi lain Fjeldheim juga mengaku mendapatkan uptime yang lebih baik. Saat ini mereka bisa memanipulasi perangkat keras sedemikian rupa, mengupgrade atau menggantinya pada saat terjadi failure tanpa mempengaruhi aplikasi yang menggunakannya.

Penerapan virtualisasi juga mendorong konsolidasi server di Hannaford Brothers Co. Menurut CIO-nya, Bill Homa, semakin murah, cepat dan handalnya jaringan komunikasi masa kini membuat perusahaannya meninjau ulang sistem TI terdistribusi yang dibangun dengan susah payah selama dua dekade belakangan ini.

Menurut dia, perusahaan ritel biasanya menggunakan sistem yang sangat terdistribusi. Tapi lima tahun belakangan ini tren berubah. ”Dengan virtualisasi, perusahaan-perusahaan ritel kini menarik aplikasi-aplikasi yang tersebar di berbagai cabangnya dan menempatkannya di satu data center, dimana mereka bisa menggunakannya lebih efisien dan mudah pemantauannya,” ujar Homa.

Saat ini, Hannaford sudah mengonsolidasikan lebih dari 300 server yang tersebar di berbagai cabang ritelnya, dan menggantinya dengan sistem mainframe baru buatan IBM. Mainframe itu kini mewadahi 62 server virtual yang menjalankan aplikasi-aplikasi strategis Hannaford, termasuk yang vital adalah portal vendor berbasis Web, dimana para pemasok Hannaford menggunakannya untuk menyampaikan jadwal pengiriman barang, penawaran harga dan sebagainya.
Single console

Penerapan virtualisasi tidak serta merta membuat permasalahan menjadi selesai. Menurut Fjeldheim, sekalipun sudah dalam bentuk virtual, server-server virtual itu tetaplah sebuah aset TI yang harus ditata dan dikelola.

Senada dengan Fjeldheim, seorang analis dari Forrester Inc mengatakan ketika sebuah perusahaan menempatkan sepuluh server virtual ke dalam satu perangkat keras, perusahaan itu bisa menghemat sembilan perangkat keras, tapi di sisi lain perusahaan itu tetap memiliki beban untuk mengelola sepuluh sistem operasi.

Dengan demikian jelas bahwa tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengelola aset-aset virtual itu. Berbagai produk virtualisasi yang saat ini dibutuhkan untuk menangani virtualisasi server, storage, jaringan maupun elemen-elemen lainnya tampaknya akan mengarah ke satu peranti administrasi tunggal. Produk-produk seperti Virtualization Engine 2.0 buatan IBM yang dirancang untuk mempermudah proses virtualisasi berbagai jenis teknologi dan mengelolanya dalam satu console (single console) kini mulai bermunculan. Namun, tetap saja untuk membuat seluruh produk-produk virtualisasi itu bisa bekerja sama bukanlah perkara mudah.

Di sisi lain, Gartner melaporkan tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan yang menerapkan virtualisasi adalah belum ada definisi ukuran-ukuran dan mekanisme pricing yang dapat diterima untuk mendukung layanan on-demand berbasis virtualisasi. Sebagian besar biaya atau harga yang berlaku di industri infrastruktur TI diasosiasikan dengan fisik barang. Butuh waktu lama bagi para vendor TI untuk memperbaiki strategi pricing yang bisa merefleksikan fleksibilitas dan efisiensi yang terkandung di dalam teknologi virtualisasi dan sejenisnya.

Sementara, bagi departemen TI sebuah perusahaan, mereka pun harus memikirkan bagaimana mereka kini bisa men-charge para user atau customer untuk sumberdaya TI yang mereka gunakan. cio-in/aa

Sumber : EbizzAsia
Baca selengkapnya ..

Senin, 06 April 2009

Statistik 2 (SPSS)

Nama MK : Statistik 2 (SPSS)

SKS : 2 SKS

Materi : 

1. Statistik dan Program Komputer Statistik

2. Dasar-dasar SPSS

3. Menyiapkan data stastik

    Transformasi data 

4. Statistik Deskriptif

    - Descriptive

    - Frekuensi

    - Crosstabs

    - Summarize

    - dll

5. Statistik Inferensi

    - Uji Beda (Uji t, Anova, Manova, dll)

    - Korelasi dan Regresi

    - dll 

6. Menguji Keandalan dan Validitas Data


Sumber :

Buku-buku SPSS for Windows

Modul di Internet

Modul Pak Entot Suhartono, untul download klik di sini

Baca selengkapnya ..

Senin, 05 Januari 2009

Membongkar Mitos Passive Income via Internet


Jika Anda sudah demikian kaya raya, liburan apakah yang menjadi dambaan Anda? Apakah Anda akan berjemur seharian di pantai yang indah di negeri tropis? Dijamin, badan Anda akan menjadi legam terpanggang sinar matahari. Tetapi, bagi orang-orang kulit putih (Barat) liburan di pantai seperti itu mewakili impian orang sana bila mereka kaya.

Mengapa saya bicara tentang liburan? Karena, belakangan ini, Anda dan saya sering dibanjiri oleh email (spam) yang menawari berbagai peluang bisnis yang menggiurkan. Dengan bisnis yang mudah, modal kecil, hasil besar, Anda bisa menjadi kaya dan … kemudian ditawari liburan berjemur di negeri tropis. Bayangkan, betapa kayanya Anda jika “kekayaan” hanya seperti itu. Karena Anda bisa berjemur tiap minggu di Ancol, atau di Parang Tritis atau di pantai Pangandaran.

Sifat pendapatan yang didapat dari internet yang ditawarkan oleh bisnis murah meriah itu berwujud passive income. Artinya, Anda tidak usah lagi bekerja, dan Anda mempunyai “money machine” yang siap mengalirkan uang ke rekening Anda. Bahkan, demikian ekstrimnya sampai-sampai mereka menawarkan bisnis yang mudah bagaikan “a license to print money.” Siapa yang tidak tertarik? Tiba-tiba saja puluhan juta orang ingin berbisnis di internet. Kehausan, sekaligus kerakusan, mereka mirip ketika di Amerika ditemukan begitu banyak ladang minyak.

Pertanyaannya, apakah Anda memang bisa kaya melalui Internet? Mark Victor Hansen dan Robert G. Allen penulis buku “The One Minute Millionaire” menjelaskan ada empat gunung miliarder. Empat gunung itu adalah: 1) investasi, Anda menaruh modal di perusahaan, 2) real estate, Anda mempunyai banyak properti, 3) bisnis, Anda mempunyai bisnis yang menjual barang-barang, dan 4) internet, Anda berbisnis melalui Internet.

Perhatikan kata gunung. Dikatakan gunung karena tinggi, yang tidak semua orang mampu mencapai puncaknya. Dibutuhkan upaya keras untuk bisa mencapai puncak gunung itu. Tetapi, tiba-tiba Anda menerima informasi betapa mudahnya berbisnis di Internet. Apakah itu berarti Anda harus membuat portal berita seperti detik.com? Atau Anda harus membuat search engine seperti Google.com? Kedua-duanya sangat sulit, dan sembarang orang tidak bisa membuat bisnis semacam itu.

Terus, apa bisnis yang gampang? Menjual e-book. Internet ada untuk mencari dan menyebarkan informasi. Sekarang ini miliaran dolar e-book terjual melalui Internet. Prinsip dasarnya adalah pada setiap orang pasti terdapat satu buku yang luar biasa yang bisa menaikkan orang itu menjadi seorang miliarder. Anda tidak percaya? Lihat saja berbagai keterampilan yang Anda miliki. Anda sukses dalam mendaki karir? Mengapa anda tidak menjual rahasia sukses Anda itu dalam wujud e-book dan Anda menjualnya kepada orang-orang yang membutuhkan di seluruh dunia?

Anda ahli mesin mobil yang tahu berbagai rahasia mesin yang orang awam tidak tahu, mengapa Anda tidak menjual “ilmu” itu dalam ujud e-book? Bayangkan, ada jutaan, mungkin puluhan juta orang yang siap untuk membeli e-book Anda itu. Ketika orang ditawari, dan dibujuk seperti itu, jelas mereka sangat tertarik. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi miliarder?

Sementara itu, kita juga dibanjiri “info menjadi kaya secara mudah” dari buku-buku Rich Dad’s dari Robert T. Kiyosaki. Bukunya yang demikian menjanjikan, yang berjudul “Retire Young, Retire Rich” atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Cara Cepat Menjadi Kaya dan Tetap Kaya Selamanya”. Ketika Anda membaca karya-karya Kiyosaki tadi, terbayang betapa mudah dan cepatnya Anda bisa menjadi kaya. Buku itu ternyata juga menjadi “buku suci” atau “buku wajib” bagi para entrepreneur Internet, termasuk para pebisnis MLM.

Konsepnya adalah secepat mungkin membangun bisnis, bisa Internet maupun properti, dan kemudian Anda bisa menikmati “passive income.” Andaikata mencapai passive income sedemikian mudahnya, mungkin saat ini saya sudah santai-santai di dusun yang indah di lereng gunung Merapi sambil menikmati sejuknya udara sembari memanjakan mata menatap puncak Merapi yang selalu mengepul.

Namun, kenyataannya tidak begitu. Buku Kiyosaki itu ternyata lebih banyak cerita fiksinya. Bahkan, pembelian-pembelian properti spektakuler di Hawaii itu pun hanya omong kosong. Bahkan Ayah Kaya (Rich Dad) yang menjadi tokoh sentral yang mengajari Kiyosaki menjadi kaya, ternyata tokoh itu juga tidak ada. Adalah John T. Reed yang membongkar omong kosong itu. Ia menulis bukunya yang diberi judul “Ayah Kaya Tidak Kaya” di mana ia membeberkan ketidakbenaran informasi dalam buku Rich Dad itu. Bahkan, ia menyarankan agar buku Kiyosaki itu dimasukkan dalam kelompok cerita fiksi.

Namun gara-gara buku Kiyosaki itu, saya sudah menyaksikan betapa banyak korban-korban akibat buku itu. Mereka sekarang hidupnya sengsara gara-gara menerapkan saran-saran dalam buku itu.

Di Internet, sejalan dengan semangat membangun passive income, juga bertebaran tawaran bisnis yang gampang. Itu tadi, Anda cukup membuat e-book, dan setelah itu Anda buat tawaran dalam web (dalam ujud sales letter) dan Anda tinggal “ongkang-ongkang” di rumah menunggu aliran uang mengalir ke rekening bank Anda.

Apakah semudah itu? Lihat uraian di awal, untuk menjadi kaya harus mendaki gunung. Artinya, harus ada upaya yang gigih dan cerdik terus menerus. Orang-orang yang tadinya hanya santai di rumah dan menunggu cek datang, ternyata menumbuk batu. Tidak ada satu orang pun yang mengunjungi web mereka. Mereka malah harus membayar biaya desain web, biaya hosting, autoresponder dan biaya lainnya. Sementara itu, web tadi tak kunjung memperoleh penjualan.

Mereka telah terperangkap dalam mitos passive income. Apakah di Internet ada orang-orang yang berpenghasilan ratusan, bahkan jutaan dolar setahunnya? Ada, dan memang cukup banyak. Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka sibuk berbaring di pantai di negeri tropis? Tidak, mereka bekerja setiap hari. Mereka terus menginvestasikan uang mereka dalam “education” yang terus menerus dengan membeli e-book yang menawarkan terobosan baru dalam pemasaran di Internet. Karena mereka selalu belajar dan berdisiplin menerapkan saran-saran buku-buku dalam bisnis mereka di Internet, akhirnya mereka memperoleh pendapatan ratusan hingga jutaan dolar setahunnya. Apakah mereka lantas bersantai-santai? Tidak, mereka bekerja terus, dan sukses makin menghampiri mereka.

Mengapa semua orang di seluruh dunia begitu menyambut bisnis yang sifatnya passive income? Karena memang dijanjikan bahwa bisnis itu amat mudah mengerjakannya. Anda bertindak hanya karena dua hal, menghindari susah dan mengejar kesenangan. Karena bisnis-bisnis di Internet yang relatif mudah, berarti terhindar dari susah, sekaligus timbul kesenangan karena adanya janji kaya secara mudah, maka semua orang menyambut hangat bisnis itu.

Namun sayangnya, mereka tidak mau berinvestasi dalam wujud modal yang cukup untuk mendidik diri mereka sendiri terhadap segenap aspek bisnis di Internet. Akibatnya, banyak orang kecewa terhadap bisnis yang terkait Internet ini.

Zimmerer & Scarborough, dalam bukunya ”Essentials of Entrepreneurship” juga membongkar mitos bahwa bisnis juga bisa dilakukan dengan modal dengkul. Berdasarkan hasil penelitiannya, sebagian besar bisnis gagal karena mereka tidak mampu menyediakan dana yang cukup untuk operasional perusahaan di awal berdirinya. Artinya, modal dengkul tidak berlaku dalam bisnis.

Kesimpulannya, jika Anda menerima tawaran bisnis melalui Internet yang mudah, modalnya kecil atau hampir tanpa modal, dan juga menawarkan passive income, menjauhlah segera. Bisnis semacam itu hanya sekadar janji manis yang tidak pernah terbukti.

Dwi Suryanto, Pembantu Direktur II Politeknik Pos Indonesia

Baca selengkapnya ..

‘Juru Kunci’ Akses Informasi Korporat




Solusi yang memungkinkan Anda mengelola dan menjaga seluruh data dan informasi penting milik perusahaan dan pelanggan Anda dari kemungkinan dicuri orang lain.

Belakangan ini, pencurian identitas pribadi melalui dunia maya semakin marak. Yang diincar biasanya nomor kartu kredit, password akun bank maupun informasi-informasi sensitif lainnya. Caranya bisa melalui phishing, email scam atau menggunakan piranti yang sanggup melacak gerak gerik kebiasaan Anda ketika berselancar di dunia maya. Kemungkinan kebocoran informasi ini tidak saja bisa menimpa kalangan personal, tapi juga korporat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan kebocoran itu datang dari orang dalam sendiri.

Katakanlah perusahaan Anda menerbitkan kartu kredit. Bayangkan ketika ribuan nomor kartu kredit dicuri dari customer database milik perusahaan Anda. Awalnya, bisa saja Anda memperkirakan ini ulah hacker. Setelah sistem ditelusuri, eh ternyata itu ulah karyawan Anda yang belum lama ini dipecat dari perusahaan.

Lebih memalukan lagi, sang mantan karyawan memperoleh akses ke database perusahaan cukup dengan menggunakan user ID dan password lamanya – yang rupanya lalai tidak dihapus ketika ia diberhentikan.

Dalam waktu tak terlalu lama, perusahaan Anda pun mulai menuai getahnya. Ratusan, bahkan mungkin ribuan komplain dari customer mengalir ke perusahaan Anda. Dan mungkin dalam waktu tak terlalu lama pula, CEO Anda menuntut penjelasan mengapa departemen TI tidak sanggup menerapkan pengelolaan identitas atau identity management secara baik.

Namun masalah consumer fraud semacam ini bukanlah satu-satunya alasan mengapa pengelolaan akses karyawan terhadap informasi perusahaan ini diperlukan. Di AS misalnya, beberapa regulasi semacam HIPAA dan Sarbanes-Oxley mensyaratkan agar perusahaan mengotentikasi dan melacak seluruh karyawan yang memiliki akses terhadap data-data sensitif, seperti rekaman medis pasien dan dokumen keuangan. Secara tidak langsung, persyaratan semacam itu menuntut diperlukannya suatu sistem identity management.

Regulasi-regulasi semacam itu, menurut Roberta Witty, direktur riset Gartner, mendorong perusahaan-perusahaan di AS untuk mengetahui lebih banyak mengenai identity management. Bahkan menurutnya, saat ini banyak perusahaan begitu fokus dalam meningkatkan sistem identity management-nya sehingga belanja TI untuk bidang lainnya terpaksa ditunda.

Perkara jaga menjaga identitas ini sedikit banyak juga sudah memakan korban di kalangan perusahaan. Januari lalu misalnya, sebuah bank di Eropa, Bank of Scotland, kena denda 2,5 juta dolar gara-gara gagal menjaga catatan identifikasi customer dengan baik, sebagaimana disyaratkan regulasi UK Financial Services Authority.

Tapi, masalah regulasi tidaklah melulu menjadi alasan penerapan solusi ini. Menurut catatan Gartner, lebih dari tujuh juta warga AS menjadi korban berbagai bentuk pencurian identitas (identity theft) dalam kurun waktu 12 bulan sampai Juni 2003 lalu. Angka ini meningkat 79 persen dibandingkan hasil survei yang dilakukan Gartner sebelumnya pada Februari 2002. Masalah ini begitu menarik perhatian pemerintah AS, sehingga pada bulan Juli lalu, presiden Bush meneken undang-undang yang memperberat hukuman bagi para pencuri identitas, yang terbukti menggunakan nomor kartu kredit curian atau data pribadi lainnya.

Sayangnya, menerapkan identity management bukanlah perkara mudah, apalagi ketika perusahaan Anda mengoperasikan berbagai sistem dengan platform berbeda-beda. Saat ini, kurang lebih ada 100 vendor identity management yang menjajakan solusinya. Beberapa menawarkan aplikasi-aplikasi yang menjanjikan sanggup memenuhi seluruh kebutuhan Anda, dan beberapa lagi menawarkan solusi-solusi yang lebih spesifik. Dan karena komponen identity management itu banyak – ada single sign-on, self-service, authentication, access control dan automated provisioning – memilih mana yang harus diprioritaskan lebih dulu bukanlah perkara mudah.

Selain itu, masalah privasi dan resistansi karyawan juga bisa menjadi penghalang, khususnya ketika piranti otentikasi yang digunakan meliputi biometrik ataupun teknologi-teknologi lain yang dipandang “tak nyaman” digunakan oleh para pengguna.

Masalah lain yang mungkin tak kalah peliknya adalah bagaimana menggandeng seluruh departemen dalam perusahaan, yang masing-masing memiliki ego dan kepentingannya sendiri-sendiri, untuk duduk bersama dan mendiskusikan kebijakan dan prosedur dalam mengatur identity management ini.

Sekalipun sulit, toh manfaat yang bisa diperoleh tidak sedikit. Solusi semacam ini memberi kontrol lebih besar bagi perusahaan terhadap proses dan program, keamanan yang ketat terhadap informasi-informasi sensitif, dan pengelolaan karyawan yang lebih baik – apakah itu karyawan baru, yang dikeluarkan atau yang mendapat perubahan tugas. Di sisi lain, solusi ini juga membantu memangkas biaya help desk, penghematan yang lebih besar dan memberi lebih banyak waktu bagi karyawan untuk melakukan tugas-tugas yang lebih penting.
Strategi penerapan

Hasil yang cepat dapat memberi jaminan dukungan dari top management perusahaan, tapi bukan berarti mendapatkannya juga mudah. Pasalnya, solusi identity management tidak murah. Menurut Yankee Group, investasi penggelaran secara luas dalam sebuah perusahaan dengan lebih dari 10 ribu karyawan tak jarang melampaui angka 500.000 dolar AS dan memakan waktu 12 sampai 24 bulan. Ini suatu komitmen jangka panjang dan mahal, sehingga kalangan top management perlu menyadari apa yang bakal dijumpainya.

“Solusi ini tidak akan jalan tanpa sponsor dari manajemen senior,” ujar Earl Perkins, seorang analis dari META Group Inc. “Tanpa dukungan, hampir bisa dipastikan penggelarannya akan gagal.”

Untuk meyakinkan para pengambil keputusan agar mereka bisa memberi lampu hijau, ada beberapa hal yang sebenarnya bisa dikemukakan untuk menggambarkan manfaat solusi tersebut. Salah satunya adalah efisiensi operasional. Misalnya, salah satu fungsi identity management seperti automated password reset. Fungsi semacam ini penggelarannya mudah dan hasilnya langsung terasa berupa kemampuan end user untuk me-reset sendiri password-nya tanpa bantuan staff TI. Hal ini secara signifikan bisa memangkas biaya untuk menelepon help desk –biayanya bisa berkisar antara 15 sampai 50 dolar per panggilan – dan bisa menghemat jutaan dolar setiap tahunnya. “Pengeluaran yang bisa dihemat cukup signifikan, apalagi jika Anda mengalihdayakan help desk Anda,” ujar Witty.

Menurut Gartner, biaya untuk suatu sistem identity dan access management berkisar antara 5 sampai 25 dolar per pengguna, bergantung fitur yang terpasang. Perusahaan dengan 10 ribu karyawan yang mengotomatiskan proses pengawasan akses (automatic provisioning) untuk 12 jenis aplikasi bisa menghemat sekitar 3,5 juta dolar dalam kurun waktu 3 tahun, dan menikmati return on investment sekitar 295 persen. Sebagian besar penghematan ini diperoleh dari pemangkasan waktu yang dihabiskan untuk pengelolaan pengguna sampai 14.000 jam per tahun, dan memangkas help desk hour sampai 6.600 jam per tahun.

Mendapatkan lampu hijau dari top management bukan berarti masalahnya sudah selesai. Anda masih harus melakukan assessment terhadap aplikasi, platform maupun pengguna untuk melihat siapa memiliki akses terhadap apa. Proses ini biasanya melibatkan para key user atau manajer lini untuk mengetahui akses apa saja yang kini dimiliki karyawan, lalu akses apa yang seharusnya hanya mereka miliki.

Dari assessment akan terlihat berapa banyak akun “hantu” (milik karyawan yang dipecat atau pindah) yang bakal dihadapi, serta dimana password dan informasi lainnya tersimpan. Langkah ini dapat pula membantu Anda mengatasi masalah integrasi sistem.

“Sebagian besar perusahaan memiliki ratusan aplikasi yang berjalan di atas berbagai platform, dan di sinilah akar masalahnya berada,” ujar Phebe Waterfield, seorang analis Yankee Group. “Menyatukan aplikasi-aplikasi tersebut ke dalam suatu common framework merupakan kerja besar.”

Assessment semacam itu juga memperlihatkan titik-titik mana yang berpotensi menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Ini akan membantu Anda mengembangkan strategi untuk menentukan fitur-fitur identity management mana yang perlu diterapkan lebih dulu.

Jika perusahaan Anda lebih memperhatikan masalah regulatory compliance, mungkin Anda perlu melirik fitur automated provisioning. Salah satu elemen identity management ini pada dasarnya melacak “lifecycle” karyawan Anda, dan memungkinkan departemen TI secara otomatis men-set up pengguna baru, menghapus akun lama dan mengawasi alokasi sumberdaya seperti komputer, jalur telepon dan ruang kantor. Solusi ini juga memungkinkan departemen TI menyimpan catatan rinci mengenai siapa mengakses sistem, jaringan atau perangkat apa.
Tantangan

Selain waktu dan investasi, ada beberapa hal lain yang menjadi tantangan untuk menerapkan identity management. Menurut Waterfield, saat ini saja ada lebih dari 100 vendor piranti lunak identity management. Sejumlah vendor menawarkan solusi-solusi spesifik, namun ada juga vendor-vendor besar seperti IBM dan Computer Associates yang mengembangkan piranti lunak yang menangani seluruh bagian identity management.

Menentukan solusi piranti lunak yang dipilih bergantung pada ukuran dan kompleksitas perusahaan Anda, seberapa lama penggelarannya dan seberapa luas solusi yang digulirkan. Perusahaan Fortune 50 dengan 50.000 karyawan dan 12 divisi misalnya, mungkin lebih baik menggunakan paket piranti lunak dari satu vendor. Jika perusahaan Anda lebih banyak beroperasi di satu platform, mungkin akan lebih baik memilih paket solusi dari vendor yang sama. Pasalnya, pengintegrasian dari berbagai jenis platform tidak mudah.

“ Para vendor mengeluarkan solusi yang mungkin dijalankan diatas berbagai platform. Tapi, biasanya solusi paling baik beroperasi menggunakan platform buatan vendor itu sendiri,” tutur Perkins.

Menurut Witty, ada masalah lain yang juga penting diperhatikan, namun seringkali terlewatkan, yaitu pengelolaan identitas dan kontrol akses bagi pekerja paruh waktu atau pekerja dari pihak luar.

Selain itu, pertimbangan yang tak kalah penting sebelum menerapkan identity management adalah kebersihan dan konsolidasi data. “Yang perlu dilihat adalah seberapa bersih dan terstrukturnya infrastruktur otentikasi dan otorisasi Anda. Tentunya Anda tidak ingin menerapkan identity management di sebuah perusahaan yang punya 300 direktori dan database tempat penyimpanan identitas. Pelajari dulu seperti apa infrastrukturnya dan buatlah integritas data sebersih mungkin,” ujar Perkins.

Yang terakhir, bersiaplah menghadapi kemungkinan terjadinya pelambatan sistem dan aplikasi jika banyak orang melakukan log in pada waktu yang sama (misalnya di pagi hari ketika para karyawan melakukan log in untuk pertama kalinya) atau ketika seorang hacker melancarkan serangan DoS (denial of service).
Tren ke depan

Di tengah tren kolaborasi antar perusahaan, kemungkinan untuk saling mengakses informasi milik masing-masing perusahaan pun semakin besar. Untuk itu, pastikan bahwa piranti lunak yang Anda pasang dapat mendukung fitur federated identity management dan dapat terintegrasi dengan authentication tokens.

Banyak perusahaan yang akan mengeksplorasi kemungkinan penerapan federated identity – suatu sistem yang memberi seorang karyawan akses terhadap sistem milik perusahaan lain tanpa otorisasi ulang. Fitur ini amat berguna bagi perusahaan yang berkolaborasi dengan banyak pihak, atau memiliki rekanan alihdaya, yang membutuhkan akses data di dalam perusahaan.

Salah satu perusahaan yang tengah menimbang-nimbang fitur semacam ini adalah produsen mobil raksasa, General Motors Corp. Adalah John Jackson, direktur teknologi piranti lunak General Motors Corp. yang mengatakan bahwa pihaknya tengah mempertimbangkan federated identity untuk pengelolaan dana pensiun, laporan pengeluaran dan travel service yang dialihdayakannya. Untuk hal-hal yang lebih strategis, pabrikan mobil tersebut juga mempertimbangkan beberapa pilihan untuk secara aman menghubungkan para insinyurnya dengan pihak pemasok untuk mendorong kolaborasi – yang bisa mempercepat pengembangan mobil baru. Namun, tugas ini tidaklah mudah.

“Bagian tersulit adalah bekerjasama dengan mitra bisnis guna menentukan bagaimana mengatasi masalah otentikasi, session time-out dan co-logoff,” ujar Jackson . “Harus diperjelas, tingkat kepercayaan seperti apa yang akan diberikan.”

Selain itu, menurut Waterfield, tren yang juga akan berkembang adalah menggandengkan sistem identity management digital dengan sistem pengenalan identitas secara fisik. Misalnya, kartu akses untuk masuk kantor Anda juga menyediakan akses ke jaringan komputer perusahaan. aa




SIDE BAR
Elemen-elemen Identity Management

Access Control: otorisasi, kemampuan untuk mengelola akses di berbagai aplikasi dan platform.

Authentication: suatu proses dimana seseorang membuktikan jatidirinya sesuai apa yang diklaimnya. Otentikasinya bisa menggunakan smart card, biometrik atau digital signature.

Automatic Provisioning: Pemberian akses aplikasi dan sistem tertentu kepada karyawan, termasuk pembuatan user ID dan password. Bisa pula pengawasan akses terhadap perangkat fisik, seperti ponsel, komputer dan keycard.

Directory: Tempat penyimpanan user ID dan password. Memberi satu tempat agar perusahaan dapat melihat akses sistem di seluruh perusahaan.

Federated Identity Management: Pemberian akses sistem ke pihak di luar firewall perusahaan, misalnya pemasok dan rekanan outsourcing.

Single Sign-On and Self-Service: Kemampuan melakukan sign on cukup sekali, kemudian mengakses seluruh jaringan perusahaan tanpa perlu melakukan otentikasi ulang. Juga kemampuan me-reset password tanpa bantuan help desk TI.

Sumber : Majalah Ebizz Asia Monday, 01 November 2004
Baca selengkapnya ..

Dengan TI Membangun Bisnis “Low-cost, high value”

Dalam waktu setahun, Virgin America membangun sebuah ekosistem TI dari nol untuk mendukung operasi perusahaan penerbangan yang efisien namun bernilai tinggi. Apa saja yang dilakukannya?

Dulu, naik pesawat terbang bagi sebagian besar orang hanyalah sekedar impian. Naik pesawat terbang identik dengan harga tiket mahal, dan eksklusif bagi kalangan mampu.

Tapi, belakangan kondisi itu berubah. Selama lebih dari satu dekade terakhir, dunia penerbangan komersial global semakin marak, diwarnai dengan hadirnya berbagai low-cost airlines atau no-frills airlines.

Sesuai namanya, low-cost airlines menawarkan harga tiket jauh lebih murah ketimbang airline tradisional. Namun, hal itu harus ditebus dengan “sedikit” mengorbankan kenyamanan penumpang. Full services seperti yang diberikan airline tradisional dipangkas. Layanan-layanan seperti minuman gratis misalnya, ditiadakan.


Namun, pelan-pelan citra low cost airline yang mengesampingkan kenyamanan bagi penumpang agaknya akan segera berubah. Sejumlah low-cost airline, baik yang sudah eksis maupun yang akan segera beroperasi mengambil ancang-ancang melakukan terobosan untuk meningkatkan customer experience-nya.

Hal itu yang menjadi salah satu tujuan low-cost airline Virgin America. Sebagai maskapai penerbangan debutan, yang baru akan melakukan penerbangan perdananya tahun ini, Virgin America bercita-cita membangun citra baru di dunia low-cost airline.

Harga tiketnya setara dengan harga tiket terendah untuk penerbangan cross-country pulang pergi seharga dibawah 300 dolar, seperti yang ditawarkan maskapai penerbangan JetBlue. Tapi, lebih dari itu, perusahaan ini ingin memberikan customer experience layaknya maskapai penerbangan kelas dunia seperti Singapore Airlines.

Diferensiasi apa yang akan ditawarkan Virgin America memang belum sepenuhnya diungkap para petinggi perusahaan itu sebelum mereka benar-benar beroperasi tahun ini.

Setidaknya publik baru mengetahui rute perdana maskapai ini adalah San Fransisco ke New York, memiliki armada terdiri dari 34 unit pesawat gres Airbus A320 serta penawaran fasilitas in-flight yang nyaman untuk penumpang, misalnya penggunaan kursi penumpang buatan Recaro dengan sandaran tipis sehingga memberikan ruang kaki lebih lega bagi penumpang di belakangnya. Selain itu, calon penumpang pun akan lebih mudah mendapatkan tiket karena 70 persen tiket akan mereka bisa peroleh melalui Web.

Pada intinya, seperti yang diungkapkan Todd Pawlowski, vice president guest service and airports, Virgin America, pihaknya ingin memberikan kastamer lebih dari apa yang mereka bayar dan meningkatkan kualitas guest experience-nya.

“Akan ada lebih banyak full service. Tapi kami tidak akan membuat kastamer harus membayar lebih untuk menikmatinya,” tegasnya.

Nah, yang tak kalah menarik adalah bagaimana Virgin America bisa mewujudkan segala fasilitas layaknya airline tradisional itu. Perusahaan ini membangun visi yang jarang dilakukan maskapai penerbangan debutan lainnya: menjadikan TI sebagai kunci dengan membangun strategi TI yang ramping, murah dan efektif.
Low cost, high value

Virgin America sejak awal sadar bahwa kemampuannya untuk menawarkan diferensiasi layanan kepada kastamer yang peka terhadap harga akan sangat bergantung pada bagaimana menjaga biaya TI tetap rendah.

Layaknya perusahaan startup, Virgin America harus melakukan banyak hal dengan dana terbatas, meski termasuk yang terbesar untuk ukuran low-cost airline. Modal awal perusahaan tidak lebih dari 177,3 juta dolar AS, sebagian untuk membeli lisensi penggunaan nama Virgin yang dibeli dari Virgin Management milik entrepreneur terkemuka asal Inggris, Sir Richard Branson.

Upaya untuk membangun TI yang kuat namun efisien pun tercermin dari keputusan perusahaan itu untuk merekrut Bill Maguire sebagai chief information officer (CIO) Virgin America.

Membaca rilis pers terkait dengan penunjukkan Maguire terlihat jelas bahwa Virgin America terkesan akan gaya kepemimpinan pria 53 tahun ini yang cenderung cost oriented.

Prestasinya menekan cost TI sebesar 4 juta dolar per tahun ketika menjabat sebagai CIO Aspect Communications, serta menghemat biaya sebesar 3 juta dolar dengan melakukan pembenahan infrastruktur TI ketika ia menjabat juga sebagai CIO di Legato Systems adalah nilai plus yang membuat Virgin America meminangnya.

"Bill adalah seorang technology leader yang inovatif dan fokus pada biaya,” puji Fred Reid, CEO Virgin America. “Ia dapat membuktikan bahwa ia dapat memanfaatkan teknologi untuk secara efektif menyeimbangkan cost control di dalam sebuah perusahaan jasa high-profile yang penuh dengan berbagai macam tuntutan.”

Maguire pun sadar bahwa sebagai perusahaan start-up, Virgin America memiliki sumberdaya yang relatif terbatas. Sedapat mungkin setiap dolar yang dihemat dari sebuah sistem TI, katakanlah memangkas sistem back-end TI yang tidak memberikan value bagi kastamer, bisa dialihkan ke hal-hal yang memberikan dampak lebih besar bagi kastamer. Misalnya, pembangunan kios-kios layanan di setiap terminal bandara.

Oleh karena itu, begitu ia menduduki kursi CIO Virgin Airlines, ia pun merencanakan untuk menggelar sebuah paduan sistem yang berbiaya rendah (bahkan dalam beberapa kasus tidak memerlukan biaya), efisien serta agile untuk membangun basis bisnis Virgin America yang bergaya “low-cost, high-value”.

“Kami hadir pada saat teknologi sudah berkembang jauh lebih ringkas, cepat dan fleksibel,” ujarnya. ”Jadi kami tidak perlu menggelar mainframe untuk menjalankan sistem-sistem kompleks yang dimiliki airline besar seperti United dan American.”
Berorientasi cost

Gaya Maguire yang cost-oriented sangat kentara ketika ia menentukan peranti-peranti lunak yang akan digelar Virgin America. Ia pun memanfaatkan berbagai jurus untuk memangkas biaya peranti lunak, mulai dari negosiasi licensing secara kreatif sampai memanfaatkan peranti-peranti open source secara maksimal.

Ia pun berupaya menerapkan pola lisensi yang menggunakan concurrent user ketimbang named user, sebuah pola yang lebih disukai kebanyakan vendor peranti lunak. Dalam hal server, ia pun lebih menyukai lisensi sesuai ukuran atau CPU power-nya.

”Saya memahami bagaimana menentukan ukuran sebuah sistem TI dan mengonfigurasi utilisasinya sehingga kami tidak usah membayar lebih dari yang kami perlukan,” ujarnya.

Selain itu, Maguire pun lebih banyak mengeksplorasi teknologi-teknologi berbiaya rendah dan seberapa banyak fitur-fitur yang ditawarkan sebuah peranti lunak bisa bermanfaat bagi perusahaan, dan bagaimana sebuah aplikasi dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Ia memberikan contoh solusi-solusi buatan vendor peranti lunak besar seperti Microsoft atau Oracle. Menurut dia, vendor-vendor itu menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan peranti lunak sementara hanya 10 persen dari fitur-fitur yang ditawarkan peranti lunak benar-benar digunakan pengguna.

”Contohnya (Microsoft) Word. Saya hanya menggunakan beberapa fitur saja. Bagi saya, terpenting adalah bagaimana membuat sebuah server maupun aplikasi melakukan kerja lebih banyak,” ujarnya.

Saat ini, sebagian aplikasi TI dibuat sendiri oleh Virgin America, antara lain spam filter, load-balancing serta change management. Semuanya berbasis kode open-source.

Penggunaan open source ini memberikan penghematan cukup signifikan bagi Virgin America. Maguire mengestimasi jika menggunakan peranti lunak load-balancing versi tradisional pihaknya harus mengeluarkan sekurangnya 80.000 dolar AS, sementara dengan menggunakan peranti lunak open source praktis pihaknya tidak mengeluarkan biaya apa-apa.

Untuk aplikasi keuangan, Maguire pun memilih aplikasi yang lebih ekonomis, yakni Microsoft Dynamic GP (dulu bernama Great Plains. Biaya implementasinya sekitar 500.000 dolar AS. Sementara jika ia memilih Oracle, ia memperkirakan harus menyiapkan dana 2 sampai 3 juta dolar. Pemilihan ini tidak semata mempertimbangkan faktor biaya saja, tetapi juga timing dan kematangan peranti lunak itu sendiri.

”Beberapa tahun lalu, Great Plains belum cukup handal untuk bisa mendukung operasi seperti perusahaan kami. Namun sekarang sudah memadai,” kilah Maguire.

Virgin America pun membangun sendiri booking-engine berbasis Web. Maguire sendiri terjun langsung mengawasi pembuatan front end situs Web-nya yang eksekusinya diserahkan ke perusahaan desain Web Anomaly, sementara coding untuk back end-nya diserahkan ke perusahaan peranti lunak India, NIIT.
Hosted solution dan alihdaya

Sistem customer relationship management (CRM) pun tak luput dari perhatian Virgin America. Tidak seperti maskapai penerbangan lainnya, Virgin America memiliki keuntungan bisa membangun sebuah sistem dari nol, tidak terbebani masalah dengan integrasi data dan sebagainya.

Uniknya, sistem CRM yang dibangun merupakan paduan antara hosted solution dengan sistem yang dibangun sendiri. Sistem customer feedbacknya menggunakan solusi hosted dari RightNow. Sementara data yang diperoleh akan diproses oleh sebuah sistem yang dibangun Virgin America sendiri.

Perusahaan ini memiliki sasaran cukup ambisius dari sistem CRM yang dibangunnya. Seperti dipaparkan Pawlowski, sistem ini bukan untuk mencatat preferensi serta buying habit kastamer seperti minuman apa yang dipesannya pada penerbangan terakhir, tetapi lebih kepada insiden-insiden yang memiliki dampak besar. Contohnya kejadian-kejadian yang membuat kecewa kastamer, misalnya kehilangan bagasi.

”Nantinya flight attendant kami akan mengetahui informasi ini, dan memberi pesan kepada kastamer bahwa kami memperhatikan masalahnya dan berupaya melakukan sesuatu untuk meningkatkan layanan,” papar Pawlowski.

Masih dalam konteks pelayanan kastamer, Virgin America juga membangun call center. Alih-alih membangun sendiri fasilitas khusus call center, atau mengelola sendiri tim home-agent seperti yang dilakukan JetBlue, Virgin mengalihdayakan call centernya ke tangan WillowCSN, sebuah provider solusi call center virtual bagi perusahaan-perusahaan Fortune 500.

Para home-based CyberAgent CSR yang disediakan WillowCSN ini akan menangani seluruh pertanyaan mengenai reservasi dan informasi penerbangan yang masuk ke nomor toll-free customer service Virgin America.

Pada tahap awal, Virgin America akan mengambil 200 CyberAgent WillowCSN untuk dilatih mengenai sistem reservasi penerbangan dan budaya perusahaan.
Terobosan berani

Dari seluruh sistem TI yang dibangun Virgin dari nol, terobosan yang terbilang paling berani adalah sistem reservasinya. Sistem reservasi boleh dibilang menjadi inti dari sistem TI maskapai penerbangan manapun.

Apapun nama sistem itu, sistem reservasi tak cuma menangani reservasi saja, tetapi juga inventory control, tarif dan ticketing, jadwal, bagasi dan interface dengan fungsi-fungsi kendali departure. Selain itu, sistem ini juga terintegrasi dengan sistem-sistem lain yang dijalankan sebuah maskapai penerbangan, mulai dari sistem flight operations sampai sistem booking berbasis-Web.

Maskapai-maskapai penerbangan yang sudah mapan kebanyakan mengoperasikan sistem legacy yang sudah teruji, seperti Sabre atau Shares. Tapi, sayangnya, sistem-sistem yang kaya fitur seperti ini berjalan di atas mainframe, pemeliharaannya mahal dan sulit untuk di-customize.

Sementara itu, sejumlah low-cost airline seperti Airtran dan JetBlue memilih sistem Open Skies dari Navitaire yang lebih murah dan memiliki sistem reservasi berbasis Web yang lebih sederhana.

Meski beda kelas, kedua peranti lunak di atas sama-sama sudah cukup lama beredar. Perusahaan yang menerapkannya pun mulai menghadapi tantangan untuk meng-upgrade-nya, atau beralih ke sistem baru.

Di sisi lain, sistem reservasi baru yang lebih efisien namun powerful mulai berkembang. Nah, sebagai maskapai penerbangan baru yang memiliki kesempatan untuk membangun sistem TI-nya dari nol, Virgin memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk memilih sistem reservasi yang lebih baru.

Pilihan pun jatuh kepada aiRES, sebuah sistem reservasi penerbangan gres yang dirilis pertama kali pada September 2005. Fleksibilitas dan desainnya yang customer-centric membuat Virgin memilih solusi yang pembangunannya didanai Cendant serta dikembangkan pengembang peranti lunak India, IBS.

Selain Virgin America, baru dua maskapai penerbangan yang telah meneken kontrak untuk menggunakan aiRES, yakni Virgin Blue dari Australia dan WestJet dari Kanada. Keduanya juga low cost airline. WestJet tercatat sebagai launch customer aiRES.

Sistem ini dibangun di atas standar open architecture dengan sebuah layer database, sebuah layer aplikasi dan sebuah layer Web services. Arsitektur yang bersifat open ini memungkinkan digelarnya sejumlah layanan-layanan yang memanjakan kastamer, misalnya proses booking tiga langkah, dan proses check-in tujuh detik di airport serta berbagai bentuk efisiensi lainnya yang bisa meningkatkan customer service.

“Solusi ini cepat, fleksibel dan sangat mudah pengonfigurasiannya,” puji Maguire. ”Kami bisa menjalankan bisnis sesuai keinginan kami, tidak perlu didikte seperti kalau menggunakan sistem Sabre atau Navitaire.”

Selain itu, aiRES juga memungkinkan sebuah maskapai penerbangan memperluas layanan kastamernya dengan mengintegrasikan distribution channel-nya dengan layanan travel lainnya.

Sebagai contoh, Virgin bisa mengintegrasikan layanannya dengan pengelola hotel atau rental mobil. Seorang pelanggan bisa melakukan check-in ketika check-out dari hotel, atau menerima boarding pass ketika mengembalikan mobil ke counter rental mobil di airport. Bahkan, notifikasi ke calon penumpang mengenai penundaan atau perubahan jadwal penerbangan kini bisa dilakukan langsung secara real time.

“Dari sudut pandang bisnis, sistem baru ini terbilang luar biasa karena memberikan fleksibilitas lebih tinggi ketimbang sistem generasi lama. Perusahaan kami bisa tumbuh tanpa ada batasan,” ujar Brian Clark, vice president planning and sales, Virgin America, eksekutif yang berperan besar dalam pemilihan aiRES.
Menunggu take off

Sejauh ini, hampir seluruh pembangunan infrastruktur TI di Virgin America telah rampung. Maguire dan timnya telah menjalankan sebagian besar jaringan, serta sudah mengoperasikan datacenter dan peranti monitoringnya. Aplikasi human resource, keuangan dan flight operations pun sudah berjalan.

“Yang tersisa adalah sistem reservasi dan production website-nya,” ujar Maguire, sambil menambahkan bahwa keduanya diharapkan sudah berjalan baik sejak awal tahun ini.

Tahun 2007 ini boleh dibilang merupakan tahun yang kritikal bagi Virgin. Penundaan operasi penerbangan bisa berujung lonceng kematian bagi maskapai penerbangan manapun.

Pasalnya, sampai saat ini Virgin masih menunggu persetujuan final dari DoT (Department of Transportation) AS. Upaya maskapai-maskapai penerbangan besar seperti Continental, Delta, United dan American yang mengajukan keberatan kepada DoT atas permohonan ijin operasi Virgin dengan alasan komposisi kepemilikan saham setidaknya juga menghambat langkah Virgin untuk bisa segera tinggal landas.

Seperti diketahui, regulasi setempat melarang investor asing memiliki lebih dari 50 persen saham kepemilikan atau lebih dari 25 persen suara di dalam sebuah maskapai penerbangan.

Belum lagi melihat antisipasi-antisipasi apa yang dilakukan low cost airlines lainnya. JetBlue, yang disebut-sebut bakal sebagai kompetitor utama Virgin America misalnya juga telah mengambil ancang-ancang untuk meningkatkan customer experience-nya. Belum lama ini, perusahaan itu memenangkan lelang dari Federal Communications Commission (FCC) satu kavling frekuensi gelombang radio untuk komunikasi dari udara ke darat. Jika mendapatkan persetujuan dari FAA, tentu membuka peluang besar bagi JetBlue untuk menyediakan layanan Wi-Fi in the sky.

Namun, meski setiap penundaan sama saja dengan hilangnya peluang mendapatkan uang, Virgin masih berkesempatan untuk menarik keuntungan dari kondisi itu, setidaknya bagi divisi TI-nya.

Selama penantian itu, low cost airline lainnya yang menggunakan aiRES, yakni WestJet yang bermarkas di Calgary, Kanada tak lama lagi akan go-live. Dari sini, Virgin dapat memetik pelajaran sesungguhnya dalam penggunaan aplikasi aiRES, dan mengambil langkah-langkah antisipasi yang dibutuhkan ketika giliran mereka tiba.

Untuk sementara waktu, Virgin America memang harus bersabar sebelum bisa mewujudkan janji-janjinya. Agaknya, mereka harus mengusung tag line perusahaannya: an airline we hope you’ll love lebih lama lagi sebelum bisa mengubahnya menjadi an airline you’ll love. /aa


SIDE BAR
Risiko

Sejumlah langkah yang diambil Bill Maguire ketika membangun sistem TI Virgin America, meski dipandang sebagai terobosan, tetapi juga dianggap mengundang risiko. Salah satunya adalah keberanian menggunakan peranti open-source, suatu hal yang jarang dilakukan maskapai-maskapai penerbangan di sana. Salah satu kekhawatirannya adalah masalah support ketika terjadi permasalahan dengan peranti lunaknya.

Tapi, Maguire menepis kekhawatiran itu karena saat ini dukungan dari komunitas open source menurutnya sudah cukup memadai bahkan terbilang luar biasa. “Kami mendapatkan update setiap malam dari komunitas ini untuk spam filter yang kami gunakan,” klaimnya.

Selain itu, keputusan Virgin untuk menggunakan sistem reservasi aiRES yang belum teruji juga dipandang bakal menimbulkan permasalahan. Maguire sudah menyadari hal ini jauh sebelumnya. Bahkan ia tak menampik kemungkinan kalau implementasi aiRES ini bisa berjalan kurang mulus. ”Sistem reservasi memang memberikan risiko paling tinggi bagi bisnis ini,” aku Maguire.

Tapi, menurut Maguire, sistem infrastruktur aiRES memiliki tingkat redundancy untuk meminimalkan dampak ketika secara tak terduga mengalami down. Untuk meminimalkan risiko secara keseluruhan, Maguire dan timnya menjalin kerjasama erat dengan Cendant untuk memastikan kinerja, stabilitas dan skalabilitas sistem ini sanggup memenuhi kebutuhan beban kerja Virgin America.

Selain itu, ketika pembangunan sistem ini masih berjalan, Maguire melakukan perjalanan rutin ke markas IBS di Delhi, India untuk memeriksa kesiapan aiRES. Ia pun membangun relasi erat dengan para software developer agar mereka mengetahui jalan pikiran dan ekspektasi Virgin America. Kesiapan dukungan 24/7 pun ketika sistem mulai berproduksi pun tak luput dari perhatian Maguire.

”Intinya kami langsung bertatap muka dengan mereka untuk menegaskan betapa pentingnya sistem ini bagi kami,” ujar Maguire. /cio/aa


SIDE BAR
Di balik sistem TI Virgin America

Teknologi apa saja yang ada di balik infrastruktur TI yang dibangun Virgin America? Anda bakal menjumpai sistem gado-gado yang mengombinasikan teknologi proprietary dengan open-source.

Untuk teknologi database-nya, Virgin menggunakan MySQL dan Oracle. Sementara untuk development tools, perusahaan ini bertumpu pada Apache Struts, J2EE, Perl, Self Scripts dan SQL Development.

Sebagai teknologi deployment, Apache digunakan untuk web servernya, sementara server aplikasi menggunakan teknologi Jboss dan Tomcat. Untuk sistem operasi, selain Linux, Virgin juga mengandalkan MS Server 2005.

Dari sisi perangkat keras, Virgin mempercayakan server-servernya pada Hewlett-Packard, sementara infrastruktur jaringannya berintikan solusi-solusi buatan Cisco, dan firewallnya kepada Sonic. /cio/aa

Sumber : Majalah Ebizz Asia Tuesday, 23 October 2007
Baca selengkapnya ..

Audit Sistem Informasi (Pengauditan di Lingkungan EDP)


Sebelumnya saya mohon maaf, karena materi ini baru bisa saya luncurkan diblog ini karena alasan teknis. Materi ini untuk sementara yang bisa di download adalah materi untuk pertemuan setelah ujian MID. Selamat tahun baru 2009 !!!



Mata kuliah ini membahas tentang Pengantar EDP (sistem informasi), Auditing, dan Auditing EDP; Konsep-konsep EDP, Konsep-konsep Audit, Teknik Audit Berbantuan Komputer, Pengendalian Internal, Umum, dan Aplikasi; Mengaudit Pusat EDP dan Aplikasi Komputer; Pengujian Subtantif di lingkungan EDP.

Tujuan Mata Kuliah ini :
Setelah mengikuti mata kuliah ini (pada akhir semester), mahasiswa akan dapat menjelaskan proses audit di lingkungan EDP.

Materi Kuliah (Silabi) Audit EDP STIE Bank BPD
1. Pengantar EDP, Auditing, dan Auditing EDP
2. Konsep-konsep EDP
3. Konsep-konsep Audit
4. Kejahatan Komputer
5. Teknik Audit Berbantuan Komputer
6. Pengendalian Internal
7. Pengendalian Umum
8. Pengendalian Aplikasi

9.
Mengaudit Pusat EDP dan Aplikasi Komputer
10. Pegujian Subtantif di lingkungan EDP

Untuk modul program ACL Workbook for Windows, silahkan klik di sini

Silabi Mata Kuliah Pengauditan PDE (UDINUS)
1. Pengantar Audit dan Pengendalian Internal
2. Konsep Pengolahan Data Elektronik
3. Sistem Manajemen Data
4. Manajemen Pengembangan dan Pemeliharaan Sistem
5. Pengendalian Internal
6. Pengendalian Sistem Informasi
7. Tehnik Audit Berbantuan Komputer
8. Pengujian Subtantif
9. Praktikum ACL WorkBook

Silabi Semester Pendek Mata Kuliah Pengauditan PDE (STIE BANK BPD)
1. Pengantar Audit dan Pengendalian Internal
2. Konsep Pengolahan Data Elektronik
3. Sistem Manajemen Data
4. Pengendalian Sistem Informasi
5. Tehnik Audit Berbantuan Komputer
6.  Pengujian Subtantif
7. Praktikum ACL WorkBook



Baca selengkapnya ..