Kamis, 23 April 2009

Selasa, 07 April 2009

Virtualisasi : Memaksimalkan Infrastruktur TI

Virtualisasi: Maksimalkan Aset TI
Monday, 02 October 2006

Virtualisasi infrastruktur TI tak hanya menghemat pembelian perangkat keras tapi juga meningkatkan utilisasinya. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengelola berbagai aset virtual itu ke dalam satu console, dan mekanisme chargeback bagi para pengguna aset virtual tersebut.


Teknologi informasi dewasa ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam operasi sehari-sehari berbagai perusahaan di dunia. Selama hampir dua dekade, dengan mengatasnamakan efisiensi kerja dan proses bisnis yang lebih cepat, hampir sebagian besar perusahaan menumpuk dan menjejalkan berbagai jenis infrastruktur TI untuk menunjang kebutuhan perusahaannya. Penggelaran TI yang dilakukan selama bertahun-tahun itu akhirnya kini justru berujung pada inefisiensi infrastruktur TI. Sebuah inefisiensi yang mungkin tidak pernah terbayangkan ketika sebuah perusahaan pertama kali menggelar TI di masa lampau.

Alhasil, kalau kita menyoroti berbagai kondisi infrastruktur TI yang ada di sebagian besar perusahaan di dunia, kondisi inefisiensi ini dengan mudah kita jumpai. Ambil contoh kasus penggelaran server misalnya. Seperti pernah diungkapkan Tony Parkinson, Industrial Standard Server Hewlett-Packard Asia Pacific, utilisasi server di rata-rata perusahaan umumnya terbilang sangat rendah, hanya sekitar 15 sampai 20 persen.

Angka ini termasuk konservatif. Pasalnya, perusahaan riset seperti Gartner saja memperkirakan tingkat utilisasi server, khususnya server-server berbasis Intel tidak lebih dari 5 sampai 10 persen saja. Dengan tingkat utilisasi serendah ini, boleh dikatakan hampir sebagian besar departemen TI perusahaan membeli server baru setiap kali mereka menggelar aplikasi baru.

Inefisiensi seperti ini bukannya tanpa sebab. Menurut Gartner, rata-rata CIO menolerir kondisi ini dengan harapan mereka bisa memenuhi kebutuhan akan sumber daya (resource) TI untuk para business users ketika mereka membutuhkannya. Di sisi lain, kebanyakan pengelola TI masih enggan mencampurkan dan menyandingkan berbagai jenis aplikasi ke dalam sebuah platform tunggal. Pasalnya, mereka khawatir langkah ini akan menimbulkan risiko pada satu atau seluruh aplikasi itu manakala terjadi kegagalan pada tingkat sistem atau system-level failure. Misalnya ketika melakukan upgrade sistem operasi untuk sebuah aplikasi akunting akan membuat aplikasi payroll yang berjalan di atas server yang sama menjadi down.

Di sisi lain, harga perangkat keras yang cenderung makin murah juga menjadi biang keladi. Prosesor, memori dan storage semakin murah. Price per performance atau price per capacity makin murah. Selama satu dekade terakhir, harga server mungkin turun 80 persen, sehingga bagi pengelola TI akan lebih mudah untuk membeli perangkat server atau storage ketimbang melakukan rasionalisasi setup sistem yang sudah ada.

Makanya tidak heran jika sering dijumpai sebuah perusahaan yang menggelar puluhan server hanya untuk menjalankan segelintir aplikasi. Seperti yang dijumpai pada perusahaan ritel bahan makanan di AS, Hannaford Brothers Co yang menggelar 33 server berbasis Windows NT hanya untuk menjalan sistem labor-schedulingnya.

Gelaran infrastruktur yang berlebihan seperti ini bukannya tanpa konsekuensi, dan jelas tidak murah. Dalam sebuah laporan IDC, biaya tenaga kerja untuk memelihara sebuah server aplikasi yang digunakan untuk produksi (bukan untuk develop atau tes aplikasi) berkisar antara 500 sampai 3.000 dolar AS per bulan. Biaya itu belum termasuk biaya-biaya lain yang terkait, misalnya untuk backup dan recovery, konektifitas jaringan, daya listrik dan pendingin ruangan. Mengalikan biaya-biaya itu dengan ratusan atau bahkan ribuan server yang biasa umumnya terdapat pada perusahaan-perusahaan besar, terbayang betapa besar biaya yang harus keluar.

Namun, hal ini tidak hanya berlaku pada server saja. Sistem storage, jaringan, PC dan bahkan aplikasi sekalipun tak luput dari penyakit inefisiensi ini. Gartner melaporkan bahwa secara keseluruhan, perusahaan harus rutin mengalokasikan 70 sampai 80 persen anggaran TI-nya untuk mendukung aplikasi dan infrastruktur TI yang sudah ada.

Kondisi ini sebenarnya masih bisa diatasi. Dewasa ini, makin banyak perusahaan yang melirik virtualisasi sebagai jalan keluar dari kemelut ini. Virtualisasi sendiri sebenarnya bukan hal baru. Konsepnya mirip dengan time-sharing pada mainframe, semacam proses partisi yang memungkinkan sumberdaya prosesor, memori dan storage dibagi-bagi sedemikian rupa sehingga masing-masing tampil layaknya komputer terpisah untuk setiap user.

Gartner sendiri mengartikan virtualisasi sebagai pooling sumberdaya TI seperti daya komputasi, memori dan kapasitas storage sedemikian rupa sehingga menghilangkan sifat-sifat dan batas-batas fisik sumberdaya tersebut dari para usernya.
Konsolidasi infrastruktur

Virtualisasi memungkinkan komputer-komputer tidak lagi harus dikhususkan untuk sebuah tugas tertentu. Aplikasi maupun user bisa berbagi sumberdaya komputasi, namun proses ini sama sekali tidak dirasakan atau diketahui user. Perusahaan pun dapat mengubah sumberdaya komputasi ini sesuai kebutuhan, dan infrastruktur yang dibutuhkan pun menjadi lebih ramping karena lebih terkonsolidasi.

Pengalaman seperti ini sudah banyak dirasakan perusahaan-perusahaan yang menerapkan virtualisasi pada infrastruktur TI-nya. Salah satunya adalah vendor perangkat telekomunikasi Qualcomm, yang dikenal dengan produk-produk CDMA-nya.

Menurut CIO-nya, Norm Fjeldheim, dulu, hampir seluruh aplikasi-aplikasi yang digelar Qualcomm harus berjalan di masing-masing server Windows yang dikonfigurasi secara khusus. Para pengguna di tim riset Qualcomm pun enggan berbagi server karena mereka khawatir hal itu akan berisiko menimbulkan ketidakstabilan pada aplikasinya. Akibatnya belanja server pun tinggi, dan membuat server-server itu beroperasi pun memakan waktu lama.

Untuk mengatasi ini, tahun 2003 Qualcomm melirik peranti lunak virtualisasi dari VMware Inc. Proses virtualisasi berbagai infrastruktur TI langsung dilakukan, dan Fjeldheim pun tidak perlu menunggu waktu terlalu lama untuk melihat hasilnya. Pihaknya kini hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk membangun sebuah virtual environment untuk aplikasi engineeringnya.

”Padahal dulu membutuhkan waktu enam minggu untuk menunggu dan menggelar server baru. Para insinyur di departemen riset pun tidak sadar bahwa kini mereka berbagi resource dengan departemen lain,” ungkap Fjeldheim.

Saat ini Qualcomm memvirtualkan separuh dari server-server berbasis Windows, dan seperempat dari server-server Linuxnya. Meski tidak seluruh servernya divirtualkan, perusahaan itu masih bisa menghemat biaya perangkat kerasnya sebesar 1,4 juta dolar sejak pertama kali menggunakan VMware, sekaligus menghemat ruang yang dibutuhkan untuk menggelar perangkat-perangkat keras.

Langkah ini otomatis juga membuat server-server Qualcomm menjadi lebih terkonsolidasi dan utilisasinya pun meningkat. Rasio konsolidasi servernya 30:1, sementara tingkat utilisasinya rata-rata 30 persen, dan mendekati 100 persen ketika saat-saat beban puncak.

Virtualisasi yang dilakukan Qualcomm tak hanya menyentuh server-servernya saja, tetapi juga sistem storagenya. Saat ini, menurut Fjeldheim, tingkat utilisasi sistem storage di Qualcomm meningkat dari 30 menjadi 65 persen.

Di sisi lain Fjeldheim juga mengaku mendapatkan uptime yang lebih baik. Saat ini mereka bisa memanipulasi perangkat keras sedemikian rupa, mengupgrade atau menggantinya pada saat terjadi failure tanpa mempengaruhi aplikasi yang menggunakannya.

Penerapan virtualisasi juga mendorong konsolidasi server di Hannaford Brothers Co. Menurut CIO-nya, Bill Homa, semakin murah, cepat dan handalnya jaringan komunikasi masa kini membuat perusahaannya meninjau ulang sistem TI terdistribusi yang dibangun dengan susah payah selama dua dekade belakangan ini.

Menurut dia, perusahaan ritel biasanya menggunakan sistem yang sangat terdistribusi. Tapi lima tahun belakangan ini tren berubah. ”Dengan virtualisasi, perusahaan-perusahaan ritel kini menarik aplikasi-aplikasi yang tersebar di berbagai cabangnya dan menempatkannya di satu data center, dimana mereka bisa menggunakannya lebih efisien dan mudah pemantauannya,” ujar Homa.

Saat ini, Hannaford sudah mengonsolidasikan lebih dari 300 server yang tersebar di berbagai cabang ritelnya, dan menggantinya dengan sistem mainframe baru buatan IBM. Mainframe itu kini mewadahi 62 server virtual yang menjalankan aplikasi-aplikasi strategis Hannaford, termasuk yang vital adalah portal vendor berbasis Web, dimana para pemasok Hannaford menggunakannya untuk menyampaikan jadwal pengiriman barang, penawaran harga dan sebagainya.
Single console

Penerapan virtualisasi tidak serta merta membuat permasalahan menjadi selesai. Menurut Fjeldheim, sekalipun sudah dalam bentuk virtual, server-server virtual itu tetaplah sebuah aset TI yang harus ditata dan dikelola.

Senada dengan Fjeldheim, seorang analis dari Forrester Inc mengatakan ketika sebuah perusahaan menempatkan sepuluh server virtual ke dalam satu perangkat keras, perusahaan itu bisa menghemat sembilan perangkat keras, tapi di sisi lain perusahaan itu tetap memiliki beban untuk mengelola sepuluh sistem operasi.

Dengan demikian jelas bahwa tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengelola aset-aset virtual itu. Berbagai produk virtualisasi yang saat ini dibutuhkan untuk menangani virtualisasi server, storage, jaringan maupun elemen-elemen lainnya tampaknya akan mengarah ke satu peranti administrasi tunggal. Produk-produk seperti Virtualization Engine 2.0 buatan IBM yang dirancang untuk mempermudah proses virtualisasi berbagai jenis teknologi dan mengelolanya dalam satu console (single console) kini mulai bermunculan. Namun, tetap saja untuk membuat seluruh produk-produk virtualisasi itu bisa bekerja sama bukanlah perkara mudah.

Di sisi lain, Gartner melaporkan tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan yang menerapkan virtualisasi adalah belum ada definisi ukuran-ukuran dan mekanisme pricing yang dapat diterima untuk mendukung layanan on-demand berbasis virtualisasi. Sebagian besar biaya atau harga yang berlaku di industri infrastruktur TI diasosiasikan dengan fisik barang. Butuh waktu lama bagi para vendor TI untuk memperbaiki strategi pricing yang bisa merefleksikan fleksibilitas dan efisiensi yang terkandung di dalam teknologi virtualisasi dan sejenisnya.

Sementara, bagi departemen TI sebuah perusahaan, mereka pun harus memikirkan bagaimana mereka kini bisa men-charge para user atau customer untuk sumberdaya TI yang mereka gunakan. cio-in/aa

Sumber : EbizzAsia
Baca selengkapnya ..

Senin, 06 April 2009

Statistik 2 (SPSS)

Nama MK : Statistik 2 (SPSS)

SKS : 2 SKS

Materi : 

1. Statistik dan Program Komputer Statistik

2. Dasar-dasar SPSS

3. Menyiapkan data stastik

    Transformasi data 

4. Statistik Deskriptif

    - Descriptive

    - Frekuensi

    - Crosstabs

    - Summarize

    - dll

5. Statistik Inferensi

    - Uji Beda (Uji t, Anova, Manova, dll)

    - Korelasi dan Regresi

    - dll 

6. Menguji Keandalan dan Validitas Data


Sumber :

Buku-buku SPSS for Windows

Modul di Internet

Modul Pak Entot Suhartono, untul download klik di sini

Baca selengkapnya ..